Home #F0FFFF; » Why Does Poverty Appear

Why Does Poverty Appear


JPC CIREBON
Terasa kita sering mendengar atau mungkin kita melihat ataupun kita pernah rasakan dam alami bentuk kata jadian “kemiskinan “ , dengan realita tidak mampu mencukupi pangan, mendaptlan seadaannya, Aku hanya mampu satu kali makan nasi aking ( nasi basi yang sudah dikeringkan ) daur ulang la…..itu sebutan sebagian daerah Cirebon. Apalagi kalau penuturan dari orang tua kita , kita semua zaman orang tua kita masih kecil hanya bisa makan bogor gedang ( akar pisang ), lalu apa dibalik semua itu…………
Sering kita mendengar dan menyaksikan kata “kemiskinan”. Secara umum kata ini dimaknai sebagai satu bentuk kehidupan berkaitan dengan putaran hidup manusia yang dikategorikan miskin dalam konteks kemampuan minimal untuk mempertahankan hidupnya. Nuansa kata ini bisa mencakup pribadi, keluarga, masyarakat, dan bahkan negara.   Sering pula kita mendengarkan bagaimana setiap pemerintahan selalu berupaya menjadikan negaranya tidak dikategorikan miskin. Lalu, setiap pemerintahan berupaya untuk selalu mensejahterakan rakyatnya melalui program-program yang diyakini mampu mengangkat rakyatnya dari miskin menuju sejahtera. Dalam cakupan kata miskin yang mana pun, kata ini ber-inti-kan kemampuan prosesi kehidupan manusia untuk melakoni hidupnya dengan kecukupan pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sehingga, ukuran atau barometer yang disebut dengan miskin pun sejatinya tidak sama bagi setiap diri. Namun, dalam tataran negara menjadi “terpaksa” diseragamkan guna memudahkan dalam setiap pengambilan keputusan.  
KEBANYAKAN, manusia selalu berupaya menghindar dari sisi yang dianggapnya tidak nyaman, misal di sisi gelapnya atau di sisi miskinnya. Di dalam itulah, manusia dengan apa yang melekat di dalam dirinya berupaya keluar dari sisi satu ke sisi yang diyakini lebih membawa keluar dari gelap atau miskinnya. Di saat yang sama, manusia yang sudah terang atau kaya pun upaya untuk bertahan. Sehingga, “bisa” terjadi  SALING menjatuhkan atau menjerumuskan melalui apa pun caranya dan bisa membenarkan apa pun caranya
Di dalam itulah, salah satu upaya manusia “menerobos” kata dualitas agar mampu menghadirkan tatanan yang membawa kesejahteraan umat manusia. Melalui perjalanan peradaban, ide tersebut jatuh dan bangun, dan terjadi metamorfosis secara berulang-ulang disesuaikan dengan kurunnya.
GOTONG ROYONG TNI RAKYAT
Bagaimana manusia mampu terlepas dari itu semua? Di sinilah arifnya para leluhur bangsa Indonesia yang TELAH memberi kita  Pancasila, yang diawali dengan kata-kata ketuhanan yang maha esa untuk menghadirkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Hakekat utama ISI kedua sila ini adalah mengajak manusia agar bersedia masuk ke dalam hakekat kemanusiaan yang BERPOROS kepada jiwa sila pertama. Bentuknya berupa suri tauladan atas hadirnya manusia-manusia yang bersedia melakoni kehidupan dalam nilai-nilai kemanusiaan TANPA melabelkan diri dengan apa pun. Artinya, warna kulit apa pun, latar belakang apa pun, agama atau keyakinan kepada Tuhan apa pun, dan sejenisnya, SEPANJANG memang ujud nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki bagi dirinya, itu sudah merupakan modal awal dari proses menggapai tatanan kemanusiaan yang tidak piramidal.   Sehingga, setiap manusia yang beragama atau pun bertuhan, tidak kaku dan terpaku hanya pada satu ritme kehidupan sesaat, yang merupakan refleksi dari satu sisi kata dualitas. Miskin atau kaya, akan ditempatkan selalu dalam upaya memperbaiki dan menyempurnakan diri. Disukai atau pun dibenci tidak akan menghalangi diri untuk terus berbuat dalam diri agar selalu menyempurnakan kadar kemanusiaannya. Mati  atau hidup  SUDAH berporos kepada Kuasa dan Ijin ALLAH SWT. melalui ketepatan dan kebijakan berbuat bagi diri, keluarga, masyarakat, dan negara. Tidak lagi terjebak kepada proses dualitas, namun sudah merespon yang demikian dalam kondisi yang setulus-tulusnya dan setabah-tabahnya dalam konteks nilai-nilai kesejatian manusia sing sejati ning manusa.  
Melalui demikian, SAAT pergiliran kehidupan dihadirkan, tidak menjadikan lupa diri, menjadi pemimpin atau pun tidak, bukan lagi ukuran utamanya. Dianggap berjasa atau pun tidak, bukan lagi menjadi target kehidupan.Di dalam diri yang ada hanyalah anugerah atas rancangan kehidupan yang dihadirkan.  Proses perpaduan manusia-manusia demikianlah yang akan bisa mewujudkan amanah para leluhur bangsa ini melalui proses kehidupan itu adalah bermusyawarah, BUKAN untuk sekedar mempertahankan hidup yang terasa sudah nyaman bagi dirinya. Tidak menguasai segalanya dalam rangka mempertahankan. Melalui manusia-manusia demikian, apa yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 33 akan mampu diujudkan. Tidak akan ada kemiskinan, karena manusia-manusia demikian baru akan “kenyang” setelah manusia lainnya bisa kenyang melalui jabatan atau kuasa yang diamanahkan padanya. SEMOGA ( BY JPC )

0 komentar:

Posting Komentar