SUASANA ARAK-ARAKAN GUNUNG JATI |
JELANG tradisi Lelumban di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, hari Minggu 23 Desember 2011 kegiatan arak-arakan. Ribuan orang berkumpul di sepanjang Jalan Raya Gunung Jati hingga bundaran kawasan Krucuk, Kota Cirebon.
Mereka antusias menyaksikan arak-arakan yang digelar setiap bulan Desember itu. Warga bahkan rela menunggu sejak siang hingga sore, dalam desakan kerumunan orang yang datang dari berbagai daerah di wilayah Cirebon itu.
Lelumban sendiri merupakan tradisi sedekah bumi dan sedekah laut (nadran) yang digelar Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, maupun warga keturunan keraton di Desa Astana, kompleks Makam Sunan Gunung Jati. Tradisi itu digelar sebagai bentuk ungkapan syukur masyarakat petani dan nelayan atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa sepanjang tahun ini.
“Saat lelumban, para nelayan terutama melarung sesaji di atas permukaan sungai. Untuk tradisi ini, Sungai Condong menjadi tempat melarung sesaji yang muaranya ke Laut Jawa,” terang budayawan Cirebon.
Sesaji yang ditampilkan biasanya memunculkan sifat-sifat kehidupan. Selain kepala kerbau, sesaji juga berisi bunga tujuh rupa, air tujuh rupa, juwadah (semacam dodol), maupun nasi kuning.
Menurut dia, ritual itu diperkirakan sudah ada sejak dikenalnya Dewi Sri sebagai demi kesuburan sebelum agama Islam masuk Cirebon, ratusan tahun lalu. Ketika agama Islam masuk Cirebon, ritual ini kemudian mengalami akulturasi hingga menjadi tradisi seperti sekarang.
Meski lelumban dianggap sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, ritual ini dipandang masyarakat kekinian sebagai sebuah tradisi turun-temurun. sudah ada beberapa hal yang berubah seiring perkembangan zaman. Team Cirebon Cemerlang memantau acara tradisi ini berkembangnya tradisi menjadi tolak ukur pada etalase pawai (arak-arakan ) pada Replika beberapa kelompok masyarakat sekitarnya .
Mereka antusias menyaksikan arak-arakan yang digelar setiap bulan Desember itu. Warga bahkan rela menunggu sejak siang hingga sore, dalam desakan kerumunan orang yang datang dari berbagai daerah di wilayah Cirebon itu.
Lelumban sendiri merupakan tradisi sedekah bumi dan sedekah laut (nadran) yang digelar Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, maupun warga keturunan keraton di Desa Astana, kompleks Makam Sunan Gunung Jati. Tradisi itu digelar sebagai bentuk ungkapan syukur masyarakat petani dan nelayan atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa sepanjang tahun ini.
“Saat lelumban, para nelayan terutama melarung sesaji di atas permukaan sungai. Untuk tradisi ini, Sungai Condong menjadi tempat melarung sesaji yang muaranya ke Laut Jawa,” terang budayawan Cirebon.
Sesaji yang ditampilkan biasanya memunculkan sifat-sifat kehidupan. Selain kepala kerbau, sesaji juga berisi bunga tujuh rupa, air tujuh rupa, juwadah (semacam dodol), maupun nasi kuning.
Menurut dia, ritual itu diperkirakan sudah ada sejak dikenalnya Dewi Sri sebagai demi kesuburan sebelum agama Islam masuk Cirebon, ratusan tahun lalu. Ketika agama Islam masuk Cirebon, ritual ini kemudian mengalami akulturasi hingga menjadi tradisi seperti sekarang.
Meski lelumban dianggap sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, ritual ini dipandang masyarakat kekinian sebagai sebuah tradisi turun-temurun. sudah ada beberapa hal yang berubah seiring perkembangan zaman. Team Cirebon Cemerlang memantau acara tradisi ini berkembangnya tradisi menjadi tolak ukur pada etalase pawai (arak-arakan ) pada Replika beberapa kelompok masyarakat sekitarnya .
Wujudnya, selain berdoa, juga dengan membuat berbagai macam replika, mulai replika binatang, orang, wujud wayang dan lainnya.
Dulunya, yang diarak bukanlah replika seperti sekarang ini. Tapi berupa gerobak yang berisi hasil bumi warga, mulai dari padi, ikan, kelapa dan lainnya. Hasil bumi itu diarak di sekitar desa lalu dibawa ke pendopo yang ada di depan Astana Gunung Jati, tempat Sunan Gunung Jati dan keluarganya dimakamkan. Setelah didoakan, warga pun memperebutkan makanan yang sudah diberkahi tersebut. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, wujud rasa syukur pun berubah. Warga membuat replika untuk kemudian diarak. Mereka dibagi berdasarkan kelompok wilayah. Ada membuat replikanya bermacam-macam,
EDI SUTARMAN |
Tak tanggung-tanggung biaya yang dikeluarkan untuk membuat replica itu sampai puluhan juta rupiah . “Semua ditanggung oleh warga kami,” ungkap salah satu dari koordinator pembuatannya. Biasanya warga mulai menabung sejak sedekah bumi tahun lalu. “Seluruh warga mulai menabung sejak sedekah bumi tahun lalu berakhir,” katanya. Alhasil, terkumpul uang yang cukup banyak untuk membuat replika . Besarnya biaya untuk membuat berbagai macam replika memang bukan menjadi masalah bagi warga. “Ini karena kepercayaan warga,” ungkap salah satu warga . Warga percaya, jika ingin mendapatkan panen, baik padi maupun ikan, yang banyak, maka jangan pelit untuk bersyukur. Karena kepercayaan inilah, warga pun sukarela mengeluarkan uangnya. Arak-arakan ini diikuti oleh 300 peserta dari berbagai wilayah di Cirebon. Replika ini dibawa baik dengan cara didorong oleh tenaga manusia, maupun dengan menggunakan mobil. Saking panjangnya, walaupun replika pertama sudah ada di daerah Krucuk, tempat perputaran arak-arakan, buntutnya masih ada di Gunung Jati. Masyarakat pun sangat antusias dengan berbagai macam replika yang diarak. “Kami sekeluarga sengaja datang dari Brebes untuk melihat arak-arakan ini,” kata Arman , warga Brebes. Mereka sekeluarga datang sejak pagi, sholat Jumat di masjid Sang Cipta Rasa Keraton Kasepuhan, kemudian menunggu di ruas Jalan Gunung Jati. “Ini untuk ngalap berkah,” kata Arman .
“Di antaranya keriuhan masyarakat yang mencolok, sedangkan rangkaian ritualnya masih ada yang tetap sejak dulu hingga sekarang, seperti pagelaran topeng dan wayang kulit dengan lakon tertentu,” papar pria yang juga dikenal sebagai seniman ini.
Khusus pagelaran topeng dan wayang kulit di Desa Astana, pihak penyelenggara biasanya mengundang seniman dan dalang khusus dari Gegesik, Kabupaten Cirebon, yang memiliki keterikatan dengan pihak keraton. Ditambahkannya, lelumban hanyalah satu dari sekian banyak tradisi serupa yang ada di Cirebon.
Setiap desa yang dilalui sungai-sungai besar, kata dia, pada umumnya memiliki agenda sedekah bumi dan nadran setiap tahun dengan waktu berbeda-beda. “Lelumban melarung sedekahnya sendiri besok (hari ini),” tandas dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cirebon, mengatakan tradisi semacam itu sesungguhnya mengandung nilai daya tarik wisata. Sayang, pengemasannya hingga kini belum terpadu karena masih dilakukan tiap-tiap daerah.
“Selain masyarakat Kabupaten Cirebon, dari Indramayu bahkan turis asing juga kerap telihat menyaksikan tradisi semacam ini. Dari segi ekonomi, kegiatan ini juga menumbuhkan ekonomi masyarakat sehingga patut dilestarikan,” tutur dia.
“Di antaranya keriuhan masyarakat yang mencolok, sedangkan rangkaian ritualnya masih ada yang tetap sejak dulu hingga sekarang, seperti pagelaran topeng dan wayang kulit dengan lakon tertentu,” papar pria yang juga dikenal sebagai seniman ini.
Khusus pagelaran topeng dan wayang kulit di Desa Astana, pihak penyelenggara biasanya mengundang seniman dan dalang khusus dari Gegesik, Kabupaten Cirebon, yang memiliki keterikatan dengan pihak keraton. Ditambahkannya, lelumban hanyalah satu dari sekian banyak tradisi serupa yang ada di Cirebon.
Setiap desa yang dilalui sungai-sungai besar, kata dia, pada umumnya memiliki agenda sedekah bumi dan nadran setiap tahun dengan waktu berbeda-beda. “Lelumban melarung sedekahnya sendiri besok (hari ini),” tandas dia.
Sementara itu, Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cirebon, mengatakan tradisi semacam itu sesungguhnya mengandung nilai daya tarik wisata. Sayang, pengemasannya hingga kini belum terpadu karena masih dilakukan tiap-tiap daerah.
“Selain masyarakat Kabupaten Cirebon, dari Indramayu bahkan turis asing juga kerap telihat menyaksikan tradisi semacam ini. Dari segi ekonomi, kegiatan ini juga menumbuhkan ekonomi masyarakat sehingga patut dilestarikan,” tutur dia.
Anda mau tengok acara tahunan di daerah Cirebon….kami tunggu……..
(By CC)
0 komentar:
Posting Komentar